Kisah Penjual Terompet, Pilih Klaten Daripada Wonogiri…

 Berita

Perayaan malam tahun baru selalu identik dengan kembang api dan terompet. Hampir di semua wilayah, dua benda ini diburu masyarakat dari anak kecil, remaja, sampai orang tua. Hal itu akhirnya membuka ceruk bisnis bagi sebagian masyarakat yang cermat memanfaatkan peluang.

Siang itu, Senin (31/12/2012), di penghujung tahun 2012, Tikno duduk di pinggir Jl Pemuda Klaten. Bersama istri dan anaknya yang baru berusia delapan tahun, sudah sepekan ini mereka mengadu nasib menjajakan terompet berbagai bentuk di sekitar alun-alun Klaten. Tak tanggung-tanggung, 700-an terompet mereka bawa ke tempat itu.

Siapa sangka, lelaki 35 tahun itu ternyata bukanlah penduduk Kabupaten Klaten. Berharap mendapat laba besar, ia meninggalkan kampung halamannya di Purwantoro, Wonogiri. Ya, Tikno khusus datang ke Klaten untuk berjualan terompet yang ia buat sendiri di rumah. Ia telah menjalani pekerjaan musiman ini selama hampir 10 tahun lamanya.

Ia menceritakan, sepekan terakhir, belum terlalu banyak jumlah dagangannya yang laku. Biasanya, para pembeli akan mulai ramai sekitar pukul 17.00 WIB sampai malam hari. Keuntungan yang didapat dari berjualan terompet di penghujung tahun menurutnya dapat menghasilkan laba yang

Tikno mampu memperoleh keuntungan antara Rp3.000-Rp10.000 pada tiap terompet dagangannya. Ia pun menyiapkan berbagai jenis terompet dengan rentang harga antara Rp5.000-Rp25.000.

Saya bisa ambil untung sekian karena saya membuat sendiri terompet-terompet itu. Hanya yang paling mahal saja yang beli ke toko. Yang paling laris biasanya yang bentuknya ular naga dan kupu-kupu yang harganya Rp15.000, terang dia.

Selama berada di Klaten, ia dan keluarganya indekos di daerah Tegalpatihan, dekat alun-alun Klaten. Akhir tahun ini, menurutnya penjualan terompet lebih baik dari setahun lalu. Pasalnya, tahun lalu, pembeli cukup sepi. Ia berencana untuk pulang ke Purwantoro Selasa (1/1) siang, habis maupun tidak habis.

Pokoknya besok [hari ini] pukul 12.00 WIB, kami akan pulang, berapa pun hasilnya, ujarnya.

Sang istri, Narti, 30, mengatakan suaminya tidak berjualan terompet di Wonogiri karena di sana sudah terlalu banyak pedagang terompet. Mereka akhirnya mengadu nasib di Kabupaten Klaten meski jarak yang mereka tempuh tidaklah dekat.

Kebetulan anak saya, Ariska Nur Hidayati, sedang libur sekolah. Jadi ya ikut sekalian. Suami sudah berjualan terompet saat tahun baru sejak Ariska belum lahir, imbuhnya.

Sumber: http://www.solopos.com/2013/01/01/kisah-penjual-terompet-pilih-klaten-daripada-wonogiri-363567